Murudeshwara Temple, Kuil Pemujaan Siwa


Murudeshwara Temple, Kuil Pemujaan Siwa

sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Murudeshwara

Murudeshwara (Kannada: ಮುರುಡೇಶ್ವರ) adalah sebuah kota di Taluk Bhatkal Uttara Kannada distrik di negara bagian Karnataka, India.
“Murudeshwara” adalah nama lain dari Dewa Hindu, Siwa. Terkenal dengan patung Siwa kedua tertinggi di dunia.
“Murudeshwara” kota pantai yang terletak di pantai Laut Arab dan juga terkenal dengan Kuil Murudeshwara.

Patung Siwa

Patung Siwa

Patung Siwa

Patung Siwa

Murudeshwara Temple atau Candi Murudeshwara ini dibangun di atas Bukit Kanduka yang pada tiga sisinya dikelilingi oleh air dari Laut Arab. Kuil ini didedikasikan untuk Dewa Shiva, dan Gopura atau Gapura bertingkat 20 dibangun di kuil ini.
Dua buah patung gajah ditempatkan di tangga menuju kuil ini. Seluruh candi dan kompleks candi, termasuk 249 meter Gopura Raja, yang dianggap sebagai gopura tertinggi di dunia, dibangun dari sumbangan pengusaha dan dermawan Bapak RN Shetty.

Candi itu sepenuhnya modern dengan pengecualian pada bangunan suci nya yang masih gelap dan tetap tenang nya. Dewa Utama adalah Sri Mridesa Lingga, juga disebut Murudeswara.
Llingga itu diyakini menjadi bagian dari Lingga Atma asli dan diperoleh 2 kaki di bawah permukaan tanah. Semua umat dilarang masuk kedalam bangunan suci tersebut.

Candi Murudeshwara

Candi Murudeshwara


Candi Murudeshwara

Candi Murudeshwara


Candi Murudeshwara

Candi Murudeshwara

Sebuah patung besar Dewa Siwa menjulang, terlihat dari jarak yang sangat jauh, hadir di kompleks candi. Ini adalah patung Siwa tertinggi di dunia. Tinggi patung adalah 123 kaki (37 m), dan dibutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk membangun.
Patung ini dibangun oleh Shivamogga’s Kashinath dan beberapa pematung lainnya, dibiayai oleh pengusaha dan dermawan Mr RN Shetty, dengan biaya mencapai 50 juta Rs. Patung ini dirancang sedemikian rupa sehingga mendapatkan sinar matahari langsung sehingga ketika matahari muncul patung ini akan berkilauan.
Awalnya, patung itu memiliki empat lengan, dan dihiasi dengan cat emas. Namun, hembusan angin kencang merusak lengan patung (salah satu yang memegang drum kecil), dan hujan yang membuat cat larut.

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa di malam hari tampak sangat bagus dan kokoh berdiri.

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa


Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Berikut patung-patung yang lain yang ada di kuil tersebut.

Patung Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa

Candi-Candi Peninggalan Hindu


1. Candi Cetho

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.

Ciri-cirinya:

Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.

2. Candi Asu

Candi Asu

Candi Asu

Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari candi Ngawen). Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung (Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya.

Ciri-cirinya :

Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).

3. Candi Gunung Wukir

Candi Gunung Wukir

Candi Gunung Wukir

Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah candi Hindu yang berada di dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung Wukir dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang dibangun pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka).

Ciri-cirinya:

Kompleks dari reruntuhan candi ini mempunyai ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu andesit, dan di sini pada tahun 1879 ditemukan prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini. Selain prasasti Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini.

4. Candi Prambanan

Candi Prambanan

Candi Prambanan

Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda yang menjadi bacaan pokok di buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging yang ingin memperistri dara cantik bernama Roro Jonggrang. Si putri menolak dengan halus. Ia mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat hanya dalam waktu semalam. Bandung yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya. Seribu candi itu hampir berhasil dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut campur. Bandung Bondowoso yang kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca, yang diduga menjadi arca Batari Durga di salah satu candi.

5. Candi Gunung Sari

Candi Barong

Candi Barong

Candi Gunung Sari adalah salah satu candi Hindu Siwa yang ada di Jawa. Lokasi candi ini berdekatan dengan Candi Gunung Wukir tempat ditemukannya Prasasti Canggal.

Ciri-cirinya:

Candi Gunung Sari dilihat dari ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua daripada Candi Gunung Wukir. Di Puncak Gunung Sari kita bisa melihat pemandangan yang sangat mempesona dan menakjubkan. Candi Gunung Sari terletak di Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Semoga di masa depan Candi Gunung Sari semakin dikenal oleh banyak orang untuk dapat menemukan inspirasi dan keindahannya.

6. Arca Gupolo

Arca Gupolo

Arca Gupolo

Arca Gupolo adalah kumpulan dari 7 buah arca berciri agama Hindu yang terletak di dekat candi Ijo dan candi Barong, di wilayah kelurahan Sambirejo, kecamatan Prambanan, Yogyakarta. Gupolo adalah nama panggilan dari penduduk setempat terhadap patung Agastya yang ditemukan pada area situs. Walaupun bentuk arca Agastya setinggi 2 meter ini sudah tidak begitu jelas, namun senjata Trisula sebagai lambang dari dewa Siwa yang dipegangnya masih kelihatan jelas. Beberapa arca yang lain, kebanyakan adalah arca dewa Hindu dengan posisi duduk.

Ciri-cirinya:

Di dekat arca Gupolo terdapat mata air jernih berupa sumur yang dipakai oleh penduduk setempat untuk mengambil air, dan meskipun di musim kemarau panjang sumur ini tidak pernah kering. Menurut legenda rakyat setempat, Gupolo adalah nama patih (perdana menteri) dari raja Ratu Boko yang diabadikan sebagai nama candi Ratu Boko (ayah dari dewi Loro Jonggrang dalam legenda candi Prambanan).

7. Candi Cangkuang

Candi Cangkuang

Candi Cangkuang

Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.

Ciri-ciri nya:

Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.

8. Candi Gedong Songo

Candi Gedong Songo

Candi Gedong Songo

Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat lima buah candi.

Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).

Ciri-cirinya:

Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27°C).
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang.

9. Candi Pringapus

Candi Pringapus

Candi Pringapus

Candi Pringapus adalah candi di desa Pringapus, Ngadirejo, Temanggung 22 Km arah barat laut ibu kota kabupaten Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitanya dengan Dewa Siwa menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Candi tersebut dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932.

Ciri-cirinya:

Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis

10. Candi Sukuh

Candi Sukuh

Candi Sukuh

Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.

Ciri-cirinya:

Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.

11. CANDI SAMBISARI

CANDI SAMBISARI terletak di desa Sambisari Kelurahan Purwomartani, lebih kurang 12 km dari pusat Yogyakarta . Nama Sambisari adalah nama sebuah daerah dengan areal persawahan yang subur di Daerah Istimewa Yogayakarta dimana candi itu berada. Untuk mencapai lokasi candi yang terletak sekitar 12 km ke arah timur dari kota Yogyakarta di sebelah utara dari jalan utama antara Yogyakarta dan Solo, dapat ditempuh dengan naik bus jurusan Yogya-Solo sampai kilometer 10 dimana terdapat papan penunjuk jalan menuju candi. Dari tepi jalan besar ini, perjalanan masih sekitar 2 km lagi yang dapat ditempuh dengan naik alat transportasi lokasl, seperti ojek atau dokar/sado.

Candi Sambisari diketemukan sekitar tahun 1966 takkala seorang petani dengan tidak sengaja telah membenturkan cangkulnya pada puncak candi yang terbenam di tanah peladangannya. tetapi dia sempat keheranan saat cangkulnya menyentuh benda keras berupa batu-batu berukir yang diduga merupakan bagian dari reruntuhan sebuah candi. Nama petani itu adalah Karyoinangun yang pertama kali menemukan kembali sebuah kompleks candi yang kemudian diberi nama candi Sambisari sesuai nama daerah ditemukannya candi tersebut.

Menindaklanjuti penemuan tersebut oleh pihak Balai Arkeologi Yogyakarta dilakukan penelitian dan penggalian. Dari hasil penggalian tersebut pada Juli 1966 diperoleh kepastian bahwa daerah tersebut terdapat sebuah situs candi dan dinyatakan sebagai daerah suaka budaya. Setelah itu dimulailah proses penyusunan kembali reruntuhan kompleks candi yang runtuh karena goncangan dan terpendam dari material letusan gunung Merapi ini diperkirakan dari penelitian geologis terhadap material batuan dan tanah yang menimbun komplek candi. Tahun 1987 pemugaran dan melakukan rekontruksi ulang terhadap kompleks candi dapat diselesaikan dengan posisi candi pada kedalaman 6,5 meter dari permukaan tanah sekitar atau sering juga candi Sambisari disebut sebagai candi bawah tanah. Tetapi sebagian ahli arkeologi memperkirakan dulunya situs candi ada di atas permukaan tanah, seperti halnya candi-candi yang lainnya.

Berdasarkan penelitian geologis terhadap batuan candi dan tanah yang telah menimbunnya selama ini, candi setinggi 6 m ini telah terbenam oleh material Gunung Merapi dalam letusan yang hebat pada tahun 1006. Candi Sambisari merupakan candi Hindu dari abad ke-10 yang diperkirakan dibangun oleh seorang Raja dari dinasti Sanjaya, dengan patung Shiwa sebagai mahaguru menepati bilik utamanya.

Candi Sambisari

Candi Sambisari

Kompleks candi Sambisari berlokasi berdekatan dengan bangunan candi yang lain misal Prambanan, Kalasan, Sari. Lokasi candi Sambisari berjarak sekitar 5 km dari kompleks candi Prambanan kearah barat atau sekitar 14 km dari pusat kota Yogyakarta ke arah timur. Candi Sambisari merupakan candi Hindu beraliran Syiwaistis dari abad ke-X dari keluarga Syailendra ini berada di wilayah kabupaten Sleman propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat penggalian kompleks candi Sambisari juga ditemukan benda-benda bersejarah lainnya, misalnya perhiasan, tembikar, prasasti lempengan emas.

Dari penemuan tersebut didapat perkiraan bahwa candi Sambisari dibangun tahun
812-838 M saat pemerintahan Raja Rakai Garung dari Kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno). Kondisi kompleks candi Sambisari sangat terawat dan bersih dan banyak wisatawan lokal, domestik maupun mancanegara banyak berdatangan mengunjunginya dan menjadi satu paket kunjungan wisata budaya dengan kompleks candi lain di sekitarnya khususnya candi Prambanan yang sudah lebih terkenal.

Kompleks candi Sambisari saat ini tampak dengan empat buah bangunan candi dengan dibatasi oleh tembok mengelilinginya dengan total luas 50 x 48m pada posisi di sekeliling tanah yang telah diadakan penggalian. Pada bangunan candi utama yang terbesar memiliki ketinggian 7,5 meter dan berbentuk bujur sangkar yang berukuran 15,65 x 13,65m pada bagian bawah candinya, sedang badan candi berukuran 5 x5m. Diperkirakan kompleks candi tidak hanya seluas itu tetapi bisa lebih luas jika diadakan penggalian lebih lanjut tetapi dikwatirkan tidak dapat menyalurkan air untuk dibuang karena posisinya lebih rendah daripada sungai yang ada di sebelah baratnya. Pintu masuk ke dalam kompleks candi Sambisari pada keempat sisi bujur sangkar dengan menuruni tangga.

Candi Sambisari berada di bawah permukaan tanah sedalam 6,5 meter. Padahal kenyataannya tinggi candi hanya 7,5 meter. Karenanya, jika dilihat dari samping, candi ini seakan muncul dari bawah tanah. Bagian bawah candi berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 13,65 m x 13,65 m. Sedangkan badan candi berukuran 5 m x 5 m. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke IX – X M. Karena letusan Gunung Merapi di tahun 1006, daerah di sekitar ini tertutup oleh bahan-bahan yang berasal dari gunung berapi.

Pintu masuk candi menhadap ke arah barat. Tangga untuk masuk dilengkapi dengan sayap. Di ujung sayap tangga terdapat relief Makara yang disangga oleh dua belah tangan makhluk kate. Keunikan yang lain, candi ini tidak memiliki pilar penyangga. Sehingga bagian dasarnya sekaligus berfungsi sebagai pilar penyangga candi. Di bagian ini terdapat selasar yang mengelilingi badan candi, dan memiliki 12 anak tangga.

Candi Sambisari

Candi Sambisari

Pada bagian luar badan candi terdapat relung-relung untuk menaruh patung. Yang masih ada kini adalah patung Durga di sebelah utara, patung Ganesha di sisi timur, dan patung Agastya di bagian selatan. Dua relung lain yang ada di kanan dan kiri pintu, untuk patung dewa penjaga pintu, yaitu Mahakala dan Nadisywara. Sayang sekali kedua patung itu sudah tidak ada di tempatnya lagi. Sedangkan pada bilik di dalam badan candi terdapat patung Yoni dan Lingga berukuran besar

Selain candi induk tersebut, di depan candi ada 3 buah candi perwara atau candi pendamping. Ukuran dasarnya 4,8 m x 4,8 m, dengan tinggi 5 meter. Namun candi-candi perwara itu belum dipugar sempurna. Sedangkan di seputar candi terdapat pagar tembok batu putih berukuran 50 m x 48 m. Saat ini saluran pembuangan air telah selesai dibangun, sehingga selama musim hujan candi tidak terbenam air.

Ketika diadakan penggalian candi Hindu Syiwaistis ini, ditemukan juga benda-benda bersejarah. Di antaranya beberapa tembikar, perhiasan, cermin logam serta prasasti lempengan emas. Dari situ diperoleh prakiraan, bahwa Candi Sambisari dibangun tahun 812-838 M, sewaktu Kerajaan Mataram Hindu atau Mataram Kuno diperintah Raja Rakai Garung dari Dinasti Syailendra.

Candi Sambisari

Candi Sambisari

Pada candi utama pintu masuk menghadap ke barat dan terdapat tangga dengan bentuk sayap sisi kanan-kirinya, pada ujung tangga terdepan terdapat hiasan relief Makara disangga oleh dua belah tangan makhluk kate. Berbeda dengan candi lainnya, candi ini tidak terdapat pondasi atau pilar penyangga candi sehingga bagian dasar candi juga merupakan pilar penyangga candi. Pada bilik terdapat patung Syiwa Mahaguru dan juga patung Lingga-Yoni dalam ukuran besar. Patung-patung yang ditempatkan di bagian luar badan candi terdapat relung-relung, patung yang masih ada yaitu patung Durga di sisi utara, Agastya di sisi selatan dan Ganesha di sisi timur. Sedang diperkirakan ada dua patung penjaga pintu Mahakala dan Nadisywara di kanan-kiri pintu yang saat ini tidak ada.

Sedang 3 candi kecil lainnya ada di depan candi induk, yaitu candi perwara atau pendamping yang berukuran 4,8 x 4,8 m pada sisi dasarnya dengan tinggi 5 m. Pada saat ini candi pendamping ini belum direkonstruksi ulang secara sempurna. Jalan menuju ke lokasi kompleks candi dapat dilalui oleh segala jenis kendaraan, namun belum ada kendaraan umum yang melewati tempat ini sehingga ditempuh dengan ojek atau dokar/delman sekitar 2 km dari tepi jalan Yogya-Solo. Untuk mencapai lokasi candi, dapat ditempuh dengan naik bus jurusan Yogya-Solo sampai kilometer 10 dimana terdapat papan penunjuk jalan menuju candi.

Keunikan Candi

Candi ini terletak sekitar 12 km ke arah timur dari kota Yogyakarta di sebelah utara dari jalan utama antara Yogyakarta dan Solo. Candi Sambisari adalah candi yang sangat unik, candi ini terletak 6,5 meter di bawah permukaan tanah.Itu sebabnya, sering juga candi Sambisari disebut sebagai candi bawah tanah. Tetapi sebagian ahli arkeo-logi memperkirakan dulunya situs candi ada di atas permukaan tanah, seperti halnya candi-candi yang lainnya.

Candi ini dibangun pada abad ke-10. Karena letusan Gunung Merapi di tahun 1006, daerah di sekitar ini tertutup oleh bahan-bahan yang berasal dari gunung berapi.

Bangunan candi utama yang terbesar memiliki ketinggian 7,5 meter dan berbentuk bujur sangkar yang berukuran 15,65 x 13,65m pada bagian bawah candinya, sedang badan candi berukuran 5 x5m.

Diperkirakan kompleks candi bisa lebih luas jika diadakan penggalian lebih lanjut, tetapi dikhawatirkan tidak dapat menyalurkan air untuk dibuang karena posisinya lebih rendah daripada sungai yang ada di sebelah baratnya.

Pintu masuk ke dalam kompleks candi Sambisari terdapat di keempat sisi bujur sangkar dengan menuruni tangga.

Pada candi utama, pintu masuk menghadap ke barat dan terdapat tangga dengan bentuk sayap sisi kanan-kirinya, pada ujung tangga terdepan terdapat hiasan relief Makara disangga dua belah tangan makhluk kate. Berbeda dengan candi lainnya, candi ini tidak terdapat pondasi atau pilar penyangga candi sehingga bagian dasar candi juga merupakan pilar penyangga candi.

Diperkirakan ada dua patung penjaga pintu Mahakala dan Nadisywara di kanan-kiri pintu yang saat ini tidak ada. Sedang 3 candi kecil lainnya ada di depan candi induk, yaitu candi perwara atau pendamping yang berukuran 4,8 x 4,8 m pada sisi dasarnya dengan tinggi

5 m. Saat ini candi pendamping tersebut belum direkonstruksi ulang secara sempurna.

Candi Sambisari mempunyai karakteristik yaitu

Candi ini dibangun langsung di atas tanah tidak pada suatu pondasi

Badan candi berukuran lebih pendek di banding candi – candi lainnya.

12. Candi Ijo, Candi yang Letaknya Tertinggi di Yogyakarta

Candi Ijo

Candi Ijo

Candi Ijo adalah candi yang letaknya paling tinggi di Yogyakarta yang menyuguhkan pesona alam dan budaya serta pesawat yang tengah landing. Candi inilah yang membuat landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.

Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat wisata budaya. Bagaimana tidak, bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan di musim hujan. Satu diantaranya yang belum banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.

Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Teras pertama sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling sakral.

Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari.

Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.

Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Wisnu.

Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah

“Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa.” Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.

Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.

Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan si pembuat atau kemegahan karya seninya.

13. Istana Ratu Boko

Candi Ratu-Boko

Candi Ratu-Boko

Istana Ratu Boko adalah kompleks istana megah yang dibangun pada abad ke-8. Bangunan yang bisa dikatakan termegah di jamannya itu dibangun oleh salah satu kerabat pendiri Borobudur.

Istana Ratu Boko adalah sebuah bangunan megah yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Istana yang awalnya bernama Abhayagiri Vihara (berarti biara di bukit yang penuh kedamaian) ini didirikan untuk tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Berada di istana ini, anda bisa merasakan kedamaian sekaligus melihat pemandangan kota Yogyakarta dan Candi Prambanan dengan latar Gunung Merapi.

Istana ini terletak di 196 meter di atas permukaan laut. Areal istana seluas 250.000 m2 terbagi menjadi empat, yaitu tengah, barat, tenggara, dan timur. Bagian tengah terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan Paseban. Sementara, bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-Balai, 3 candi, kolam, dan kompleks Keputren. Kompleks gua, Stupa Budha, dan kolam terdapat di bagian timur. Sedangkan bagian barat hanya terdiri atas perbukitan.

Bila masuk dari pintu gerbang istana, anda akan langsung menuju ke bagian tengah. Dua buah gapura tinggi akan menyambut anda. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Bila anda cermat, pada gapura pertama akan ditemukan tulisan ‘Panabwara’. Kata itu, berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, dituliskan oleh Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana. Tujuan penulisan namanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan, memberi ‘kekuatan’ sehingga lebih agung dan memberi tanda bahwa bangunan itu adalah bangunan utama.

Sekitar 45 meter dari gapura kedua, anda akan menemui bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Candi itu berbentuk bujur sangkar (26 meter x 26 meter) dan memiliki 2 teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah. Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran.

Sumur penuh misteri akan ditemui bila berjalan ke arah tenggara dari Candi Pembakaran. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Kini, airnya pun masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu dapat membawa keberuntungan bagi pemakainya. Sementara orang-orang Hindu menggunakannya untuk Upacara Tawur agung sehari sebelum Nyepi. Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada harmoni awalnya. Disarankan anda berkunjung ke Candi Prambanan sehari sebelum Nyepi jika ingin melihat proses upacaranya.

Melangkah ke bagian timur istana, anda akan menjumpai dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha yang terlihat tenang. Dua buah gua itu terbentuk dari batuan sedimen yang disebut Breksi Pumis. Gua yang berada lebih atas dinamakan Gua Lanang sedangkan yang berada di bawah disebut Gua Wadon. Persis di muka Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha.

Meski didirikan oleh seorang Budha, istana ini memiliki unsur-unsur Hindu. Itu dapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni, arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan “Om Rudra ya namah swaha” sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Memang, saat itu Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan dengan para pengikut Hindu.

Sedikit yang tahu bahwa istana ini adalah saksi bisu awal kejayaan di tanah Sumatera. Balaputradewa sempat melarikan diri ke istana ini sebelum ke Sumatera ketika diserang oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa memberontak karena merasa sebagai orang nomor dua di pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno akibat pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudhawardani (saudara Balaputradewa. Setelah ia kalah dan melarikan diri ke Sumatera, barulah ia menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.

Sebagai sebuah bangunan peninggalan, Istana Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Jika bangunan lain umumnya berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya istana ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Itu ditunjukkan dari adanya bangunan berupa tiang dan atap yang terbuat dari bahan kayu, meski kini yang tertinggal hanya batu-batu dari batu saja. Telusurilah istana ini, maka anda akan mendapatkan lebih banyak lagi, salah satunya pemandangan senja yang sangat indah.

14. Candi Gampingan

Candi Gampingan

Candi Gampingan

Candi Gampingan yang ditemukan pada tahun 1995 diduga merupakan bagian dari Situs Gampingan. Bagian kaki candi dihiasi relief beragam jenis hewan, salah satunya burung yang dipercaya mampu membawa pesan dari nirwana.

Tak semua candi memiliki relief cantik yang khas sebab umumnya hanya dihias oleh arca dan relief umum yang terdapat hampir di semua candi. Salah satu yang memiliki relief cantik yang khas itu adalah Candi Gampingan, sebuah candi yang ditemukan secara tak sengaja oleh pengrajin batu bata di Dusun Gampingan, Piyungan, Bantul pada tahun 1995. Meski ukurannya kecil dan sudah tak utuh lagi, Candi Gampingan masih kaya akan relief yang mempesona.

Salah satu relief cantik yang bisa dijumpai di candi ini adalah relief hewan yang ada di kaki candi. Relief hewan di Gampingan begitu natural hingga bisa diketahui jenis hewan yang digambarkan. Cukup jarang candi yang memiliki relief demikian, setidaknya hanya Candi Prambanan dan Mendut yang dikenal memiliki relief serupa. Semua relief itu dihias dengan latar sulur-suluran, yaitu padmamula (akar tanaman teratai) yang diyakini sebagai sumber kehidupan.

Saat YogYES berkeliling, tampak jenis hewan yang mendominasi adalah burung. Terdapat relief burung gagak yang tampak memiliki paruh besar, tubuh kokoh, sayap mengembang ke atas dan ekor berbentuk kipas. Ada pula relief burung pelatuk yang digambarkan memiliki jambul di atas kepala, paruh yang agak panjang dan runcing serta sayap yang tidak mengembang. Selain itu, ada juga ayam jantan yang memiliki dada membusung dan sayap mengembang ke bawah.

Pembuatan relief burung dalam jumlah banyak di candi ini berkaitan keyakinan masyarakat saat itu terhadap kekuatan transedental burung. Diyakini, burung merupakan perwujudan para dewa sekaligus pembawa pesan dari alam para dewa atau nirwana. Burung juga berkaitan dengan kebebasan absolut manusia yang dicapai setelah berhasil meninggalkan kehidupan duniawi, lambang jiwa manusia yang lepas dari raganya.

Relief hewan lain yang juga banyak digambarkan adalah katak. Masyarakat saat itu percaya bahwa katak memiliki kekuatan gaib yang mampu mendatangkan hujan, sehingga katak juga dipercayai mampu meningkatkan produktivitas, karena air hujan yang didatangkan katak bisa meningkatkan hasil panen. Katak yang sering muncul dari air juga melambangkan pembaharuan kehidupan dan kebangkitan menuju arah yang lebih baik.

Hingga kini, relief itu masih menyisakan pertanyaan, apakah sebuah fabel (cerita hewan yang didongengkan pada anak-anak) seperti di Candi Mendut atau gambaran hewan yang sengaja dibuat untuk menunjukkan maksud tertentu. Pertanyaan itu muncul sebab gambaran hewan seperti di Candi Gampingan tak ditemukan dalam kitab yang memuat fabel, seperti Jataka, Sukasaptati, Pancatantra dan versi turunannya.

Candi Gampingan yang diperkirakan dibangun antara tahun 730 – 850 M diyakini merupakan tempat pemujaan Dewa Jambhala (Dewa Rejeki, anak Dewa Siwa). Hal itu didasari oleh penemuan Arca Jambhala ketika penggalian. Jambhala digambarkan sedang dalam keadaan semedi, tubuhnya duduk bersila sementara matanya terpejam. Bagian tubuhnya dihiasi oleh unsur ikonografis (asana) berupa bunga teratai yang memiliki daun berjumlah 8 helai sebagai lambang cakra dalam tubuh manusia.

Figur Jambhala di candi ini berbeda dengan yang ada di candi lainnya. Umumnya, Jambhala di candi lain digambarkan dengan mata lebar yang menatap ke arah pemujanya disertai dengan beragam hiasan yang melambangkan kemakmuran dan kemewahan. Diyakini, penggambaran berbeda ini didasari oleh motivasi pemujaan, bukan untuk memohon kemakmuran tetapi bimbingan agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.

Mengunjungi Candi Gampingan akan membawa kita merenungkan kembali tentang jalan yang sudah kita tempuh untuk menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Relief yang didominasi bentuk hewan yang hidup di alam sekitarnya bisa jadi merupakan wujud kearifan masyarakat setempat pada jaman itu dalam merepresentasikan sebuah pesan dari nirwana: untuk hidup sejahtera dan terhindar dari bencana, manusia seharusnya menjaga keselarasan dengan alam.

Pura Satya Dharma Putra, Klaten


Pura terakhir yang dikunjungi oleh rombongan yaitu Pura Satya Dharma Putra yang terletak di Desa Jiwan, Kecamatan
Karangnongko, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Pura ini terletak di pelataran gunung merapi di sebelah utaranya.
Perkembangan Hindu di daerah Jiwan ini dimulai pada tahun 1970 an, dan akhirnya pada tahun 1991 berdirilah Pura Satya
Dharma Putra ini.

Pembangunan pura dilakukan secara bertahap dengan dilandasi oleh kekeluargaan dan gotong royong.
Secara umum, bangunan pura juga memiliki 3 bagian utama yaitu utamaning mandala, madyaning mandala, serta nistaning
mandala.
Candi bentar menghiasi pintu masuk dari jaba ke madyaning mandala, sedangkan candi kurung merupakan pintu masuk ke
utamaning mandala, semuanya berbahan batu pasir halus hitam yang dibuat menjadi batu.
Yang unik dari bangun pura di tanah ‘jawa’ adalah hampir semuanya memiliki 3 pelinggih utama di utamaning mandala.

Sama juga dengan pura ini, terdapat Pelinggih Padmasana di tengah, kemudian Pelinggih Ratu Penglurah di sebelah kiri
Padma, serta Pelinggih Hyang Siwa di sebelah kanan Padmasana.
Adanya pendopo di utamaning mandala dengan bangunan khas jawa yang langsung menhadap ke bangunan Padmasana.
Pemangkunya sendiri dalam menghaturkan dan memandu acara persembahyangan menggunakan aksara jawa yang diiringi
dengan kekidungan dalam bahasa jawa pula, seperti kidung turun tirta dalam versi bahasa jawa.
Menurut Mbah Suparsi, salah seorang sepuh dan pengempon pura ini menceritakan sedikit tentang perjuangan masyarakat
hindu disana dalam menjaga eksistensi hindu serta bagaimana kemudian berkembangnya hunduisme.
Beliau menuturkan, memang kalau dilihat secara jumlah, pemeluk agama hindu bisa dibilang merupakan minoritas, namun
apabila dilihat lebih jauh, yang masih menerapkan ‘tradisi’ hindu atau yang dibiling beliau dengan istilah hinduisme bisa
dibilang sangat banyak.
Inilah yg mungkin dibilang sebagai islam hanya di-ktp saja.
Beliau menuturkan bahwa pengempon pura saat ini sekitar 400 an orang yang tersebar disekitar pura.
Melalui kesempatan ini pula, beliau menitip pesan kepada kami semua untuk senantiasa berpedoman pada ajaran dharma
dan agama dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan swa-dharma masing-masing.
Setelah selesai dilaksanakan acara persembahyangan yang dilanjutkan dengan acara diskusi dan ramah tamah, kami
mendapatkan ‘surprise’ dari pihak pengempon pura dengan diberikannya hidangan makan malam.
Walaupun dengan meni yg sederhana, tapi itu sangat cukup bagi kami yang sebagian memang sudah sangat kelaparan. 🙂
Perbincangan serta interaksi dengan muda-mudi pura juga sempat terjalin selama berlangsungnya acara diskusi dan ramah
tamah.
Sungguh sambutan yg sangat meriah dari umat disana dalam menyambut kami yang baru kali ini me-tirtayatra kesana.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih yang paling dalam kepada umat se-dharma yang ada di Jiwan ini,
semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa menganugrahkan Wara Nugraha kepada semua umat manusia.

Selesai acara sekitar jam 10 malam, rombongan langsung mohon pamit dan akan meneruskan perjalanan balik ke jakarta.
Masih ada sekitar 14 jam lagi waktu yang ditempuh untuk mencapai Pura Adityajaya Rawamangun, Jakarta.

Pura Buwana Pertiwi, Klaten


Pura Buwana Pertiwi, Klaten

Pura Buwana Pertiwi, Klaten

Pura Buwana Pertiwi terletak di Dukuh Pendem, Dusun Jarum, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Lokasi pura ‘sedikit’ terpencil dengan jalan yang agak kecil tetapi masih bisa dilalui oleh bus yang digunakan oleh
rombongan.

Setelah berjalan kaki sepanjang 700 meter, maka rombongan tiba di Pura Buwana Pertiwi, klaten.

Sedikit sejarah tentang pura ini yang didirikan oleh umat hindu di sekitar dusun jarum yang berjumlah sekitar 30 KK sekitar
setahun yang lalu. Lokasi pura berada di tengah-tengah pemukiman dengan rumah penduduk disekitar yang masih bercirikan ‘tradisional’ sekilas mengingatkan akan suasana di pedesaan.

Suasana Pedesaan disekitar Pura

Suasana Pedesaan disekitar Pura

Piodalan di pura ini akan dilangsungkan pada tanggal 20 juni 2010 bertepatan dengan setahun berdirinya pura.

Secara struktur, bangunan pura masih sama dengan susunan pura secara umum dimana terdapat utamaning, madyaning,
serta nistaning mandala.
Candi bentar ada di jaba tengah dengan gaya arsitektur khas jawa.
Sedangkan utamaning mandala terdapat 3 pelinggih dimana Padmasana berada di paling kiri kemudian diikuti dengan 2
pelinggih disebelah kanannya.

Padmasana

Padmasana


Pelinggih Pura

Pelinggih Pura

Pada saat rombongan melaksanakan persembahyangan, berkesempatan hadir pula Romo Jati dari Cirebon yang selama ini
menjadi tokoh umat di Pura Dalem Cilincing jakarta utara.
Kebetulan beliau berada di daerah klaten untuk memberikan pengarahan serta bimbingan ke umat hindu yang selama ini
belum ‘terjamah’.
Beliau menuturkan bahwa di klaten sendiri terdapat 49 pura yang tersebar di seluruh klaten, dan sebagian besar berada
pada lokasi yang agak terpencil.

Romo berpesan bahwa kita sebenarnya memiliki nenek moyang/leluhur yang sama berasal dari tanah jawa, baik itu hindu
yang ada di bali, maupun di daerah-daerah lain seperti lampung.
Jangan pernah lupa dng leluhur dan ingatlah akan kemuliaan-NYA.
Di akhir sambutan, beliau menyinggung tentang ramalan sabda palon dan naya genggong sebagai ‘pengawal’ Prabu
Brawijaya pada saat runtuhnya kerajaan Majapahit sebelum akhirnya Islam berkembang pesat.
Masa-masa sekarang ini merupakan masa akan ramalan tersebut setelah lebih dari 500 tahun semenjak keruntuhan kerajaan
majapahit.

Rombongan sendiri dijamu dengan sangat baik dan penuh rasa kekeluargaan oleh masyarakat hindu sekitar, dan kita merasa
bangga terhadap mereka semua yang sanggup bertahan ditengah pengaruh ‘angin’.

Acara akan dilanjutkan menuju pura yang terakhir sebelum rombongan akan balik ke jakarta.

Pura Pucang Sari, Klaten Jawa tengah


Pura Pucang Sari

Pura Pucang Sari


Pura Pucang Sari - Madyaning Mandala

Berikut sekilas informasi mengenai Pura Pucang Sari di Kabupaten Klaten yang kami kunjungi pada saat
acara Tirtayatra mahasiswa STAN yang tergabung dalam KMHB (keluarga mahasiswa hindu budha) STAN Jakarta.

Pura Pucang Sari terletak di Desa Pucang, Kecamatan Ceger, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Pura ini terletak agak kedalam di tengah pemukiman penduduk yang berbaur antara masyarakat yang memeluk hindu
dan masyarakat non-Hindu.
Pura ini mulai dirintis pada tahun 1985 setelah mendapatkan ‘pembagian’ tanah dari pemerintah pada tahun 1980.
Kalau di runut kebelakang, hindu di desa ini dimulai pada tahun 1965 pada masa pemberontakan G30 S/PKI.
Setelah berakhirnya masa pemberontakan itu, pemerintah mewajibkan masyarakatnya untuk ‘memilih’ agama yang ada
pada saat itu.
Kenapa memilih, karena pada saat itu masih belum jelas dengan yang namanya agama, dimana masih banyak masyarakat
yg masih menjalankan ‘tradisi’ hindu tetapi ber-ktp bukan Hindu.
Masyarakat hindu yg saat itu berjumlah sekitar 60% hanya tersisa 20% saja yang masih memeluk hindu.
Dengan jumlah yg masih tersisa itu, masyarakat hindu menginginkan untuk didirikannya tempat ibadah berupa pura
sebagai sarana mereka untuk menjalankan ibadah serta ‘yadnya’ ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Saat ini terdapat 95 KK dengan sekitar 400 jiwa sebagai pengempon pura.
Dengan swadaya serta bantuan dari umat hindu dari denpasar, maka akhirnya pura ini berdiri.
Sama seperti pura secara umum, Pura Pucang Sari ini terdiri dari utamaning mandala, madyaning mandala,
serta nistaning mandala.
Candi bentar berdiri kokoh di jaba serta madyaning mandala dengan arsitektur khas jawa yang terbuat dari batu hitam
serta ornamen-ornamen yang menggambarkan budaya jawa.
Di utamaning mandala,terdapat 3 pelinggih utama yaitu Padmasana serta 2 pelinggih yg mengapit bangunan
utama Padmasana.

Padmasana Pura Pucang Sari

Padmasana Pura Pucang Sari

Pelinggih itu secara umum merupakan pelinggih Hyang Nglurah di sebelah kiri serta pelinggih Dewa Hyang di sebalah kanan,
tentunya dengan ukiran khas jawa.

Salah Satu Pelinggih di Pura Pucang Sari

Salah Satu Pelinggih di Pura Pucang Sari

Saat rombongan tiba di pura, kami disambut oleh pengempon pura, pihak parisadha phdi klaten serta masayarahat Hindu
sekitar Pura yang terdiri dari kaum tua dan muda.
Kami disambut dengan sangat baik oleh masayarakat hindu disana beserta sajian santap siang yang membuat perut
kami kenyang. 🙂

Acaranya sendiri diawali dengan persembahyangan bersama, dilanjutkan dengan sambutan-sambutan serta acara
ramah-tamah dan semua larut dalam suasana kekeluargaan dan kebersamaan walaupun banyak juga yang baru kenal
satu sama lain.

Suasana Persembahyangan

Suasana Persembahyangan

Suasana saat Dharma Wacana oleh tokoh Hindu disana

Suasana saat Dharma Wacana oleh tokoh Hindu disana

Terimakasih kami ucapkan kepada pengempon pura,  pihak phdi klaten, serta warga hindu sekitar pura yang sangat
antusias menyambut kami.
Sungguh kami merasa ‘merepotkan’ krama disana.

Semoga tirtayatra kali ini bisa memberikan manfaat bagi kami semua dalam mendekatkan diri kepada-NYA, serta proses
pembelajaran diri dalam melaksanakan interaksi sosial dengan umat se-dharma.

Jayalah Hindu Indonesia.