Tri Sandhya dan Panca Sembah


Sumber : http://bhaskaragita.blogspot.com/2010/03/tri-sandhya-lan-panca-sembah.html

Sebagai Umat Hindu, kita selalu melaksanakan Persembahyangan baik dirumah, di Pura atau ditempat-tempat yang dianggap suci atau disucikan. Persembahnyangn dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri/perorangan atau secara bersama-sama. Sebelum melakukan persembahyangan (baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama) sedapat mungkin Persembahyangan diawali dengan Puja Trisandya dirangkai dengan Panca Sembah.
Sebelum menuju ketempat Sembahyang, terlebih dahulu bersihkan mulut, muka, tangan, kaki dan yang paling utama bersihkan pikiran dan hati.
Untuk melaksanakan Persembahyangan, urutannya adalah sebagai berikut :

1. Asanna
mengambil sikap badan yang baik dengan mengucapkan mantram :

” Om prasada sthiti śarira Çiwa suci nirmalāya namah swāhā “

2. Pranayama
mengendalikan pernafasan guna mencapai ketenangan saat sembahyang, dengan mantram :
-. Om Ang Namah ( saat menarik nafas )
-. Om Ung Namah ( saat menahan nafas )
-. Om Mang Namah ( saat mengeluarkan nafas )

3. Karasuddhaya
membersihkan kedua telapak tangan
Sucikan kedua telapak tangan dengan mantram :
a.Telapak tangan kanan ditengadahkan di atas tangan kiri dan ucapkan mantram:

” Om suddhāya mām swāhā “

b.Telapak tangan kiri ditengadahkan di atas tangan kanan dan ucapkan mantram:

” Om atthi suddhāya mām swāhā “

4.Amustikarana
Sikap kedua tangan membentuk kerucut dengan tangan kiri menggenggam tangan kanan, kedua ujung ibujari dan telunjuk tangan kanan saling bertemu, dilanjutkan dengan Puja Trisandhya dengan mantram :

Om bhūr bhvah svah
Tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayāt

Om Nārāyanād evedham sarvam
yad bhūtām yac ca bhāvyam
niskalañko niranjano nirvikalpo
nirākhyātah suddho deva eko
Nārāyano na dvitiyo’sti kascit

Om tvam sivah tvam mahā devah
Īsvarah Parameśvarah
Brahmā Visnuśca Rudraśca
purusah parikērtitah

Om pāpo’ham pāpakarmāham
pāpātmā pāpasambhavah
trā hi mām pundarikāksah
sabāhyābhyāntarah śucih

Om ksamasva mām mahādeva
sarvaprāni hitāngkarah
mām moca sarva pāpebhyah
pālayasva sadā siva

Om ksāntavyah kāyiko dosāh
ksāntavyo vāciko mama
ksāntavyo mānāso dosāh
tat pramādāt ksamasva mām

Om Śāntih, Śāntih, Śāntih, Om

Setelah selesai Puja Trisandhya dilanjutkan dengan Panca Sembah. Urutan sembah untuk Panca Sembah baik saat sembahyang sendiri maupun bersama-sama dengan atau tanpa dipimpin oleh sulinggih adalah :

1. Sembah dengan tangan kosong (sembah puyung).
Cakupkan tangan kosong dengan ujung jari sejajar ubun-ubun, pusatkan pikiran dan ucapkan mantram :

“ Om Ātmā tattwātmā sūddha mūm swāhā “

2.Sembah dengan bunga (sedapat mungkin dengan bunga putih),
ditujukan kepada Hyang Widhi dalam wujud-Nya sebagai Hyang Surya atau Siwa Raditya, dengan mantram :

” Om Adityasya paramjyotir
rakta tejo namo’stute
sweta pangkaja madhyastha
bhaskarāya namo’ stute

“ Om Pranamya bhaskara dewam,
sarwa kleśa winaśanam,
pranamyaditya śiwārtam,
bukti mukti marapradam,

“ Om Hrang hring sah parama śiwa adityāya namo namah swāha.

3.Sembahyang dengan kwangen (bila tidak ada kwangen, gunakan bunga warna warni).
Ditujukan kepada Istadewata pada saat dan tempat persembahyangan. Istadewata adalah Dewata yang diinginkan kehadiran-Nya pada waktu sembahyang. Istadewata adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai wujud-Nya. Jadi mantramnya sangat tergantung dimana dan kapan persembahyangan dilaksanakan. Mantram di bawah adalah mantram umum saat Persembahyangan dilaksanakan :

“ Om nama dewa adhisthanāya
sarwa wyapi wai śiwāya
padmāsana eka pratisthāya
ardhanareswaryai namo’namah

“ Om Brahma Wisnu Iśwara Dewa,
Jiwātmanām trilokanām,
Sarwa jagat pratisthanam,
Sarwa roga wimurcitam,
Sarwa roga winaśanām,
Sarwa wighnam winasanam,
Wighnam desa winaśanam,

“ Om nama śiwaya,

4. Sembahyang dengan kwangen atau bunga untuk memohon waranugraha.
Mantramnya adalah:

”Om anugraha manohara
dewa dattā nugrahakam
arcanam sarwa pūjanam
namah sarwānugrahaka
Dewa-dewi mahā siddhi
yajñangga nirmalātmaka
laksmi siddhiśca dirghāyuh
nirwighna sukha wrddhisca

“ Om Gring anugraharcānaya namo
namah swāha.
“ Om Gring anugraha manoharāya namo
namah swāha.
“ Om Ayur wrddhir yāso wrddhih,
wrddhih prajñā sukha sriyam,
dharma santāna wrddhih syāt,
santu te sapta wrddhayah.
“ Om Yāwan merau shtito dewah,
yāwat ganggā mahitale,,
candrārkau gagane yāwat,
tāwad wā wijayi bhawet.
“ Om dirghāyur astu tathāstu.
“ Om awighnam astu tathāstu.
“ Om subham astu tathāstu.
“ Om sukham bhawantu.
“ Om pūrnam bhawantu.
“ Om sreyo bhawantu
sapta wrddhir astu.

5. Sembahyang dengan tangan kosong (sembah puyung).
Mantramnya:

Om Dewa suksma parama acintyāya nama swāha.
Om Sāntih, Sāntih, Sāntih, Om

Ya Tuhan, hamba memuja Dewata yang tak terpikirkan, yang maha agung. Ya Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, anugerahlahkanlah kepada hamba kedamaian.
Semoga Damai, Damai, Damai Ya yang Maha Agung.

Setelah selesai Muspa Panca Sembah dilanjutkan dengan nglungsur waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa berupa Tirtha Amertha, dengan rangkaian dan mantramnya :
-. Maketis tiga kali ke ubun-ubun :
Om Pratama suddha, dwitya suddha tritya suddha, saturti suddha, pancami suddha, suddha suddha suddha waryastu.

-. Minum tiga kali :
Om Brahma pawaka
Om Wisnu amrtha
Om Iswara jnanam

-. Meraup tiga kali :
Om Siwa sampurnaya namah,
Om Sada Siwa paripurnaya namah,
Om Parama Siwa suksmaya namah.

Setelah selesai nglungsur Tirtha Amertha, maka selesailah rangkaian Persembahyangan, selanjutnya sebelum meninggalkan tempat Persembahyangan sebaiknya tutup dengan Parama Santih

Siwaratri dan Aplikasinya dalam Kehidupan


Shiva Picture

Dewa Siwa

Sumber
Aplikasi Brata Siwaratri Dalam Kehidupan Sehari-hari
Oleh : I Gede Manik, S.Ag, Badung

Hari Raya Siwaratri merupakan han raya berdasarkan atas pranata masa yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem Kepitu.
Untuk tahun mi Malam Siwaratni jatuh pada tanggal 3 Januari 2011.

Han suci Siwaratri sangat identik dengan begadang semalam suntuk serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu Tanakung.

Difinisi Siwaratri menurut Ketut Sukartha dan kata “Siwaratri” berasal Siwa dan Ratri. Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya malam. Siwaratri berarti puncak malam. Sedangkan difinisi menurut Tjok Rai Sudharta “Siwaratri artinya malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa yang diberi nama gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi sebagai pemralina atau pelebur. Ratri artinya malam. Malam disini maksudnya kegelapan. Jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang sangat mendalam sebagai bahan renungan yang tak pernah habis untuk dikaji. Tidak cukup hanya dengan prosesi ritualitas semata, melainkan harus dipahami makna-makna yang terkandung didalamnya. Dengan adanya pemahaman yang benar serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka hari suci keagamaan akan sesuai dengan tujuan perayaan hari raya tersebut. Kegiatan ritual Siwaratri mesti dilaksanakan sesuai petunjuk sastra. Di samping itu juga tidak kalah pentingnva yakni merealisasikan makna-makna simbolis yang terkandung didalamnya ke dalam wujud/kehidupan sehari-hari.

Makna Brata Siwaratri dalam kehidupan sehari-hari
Pada waktu pelaksanaan Brata Siwaratri sebagai lambang yang bernilai sakral bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk. Menurut Tjok Rai Sudharta, brata Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata” artinya janji, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati. Brata Siwaratri dapat disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh hati melaksanakan ajaran Siwaratri. Brata Siwaratri tidak berhenti sampai pelaksanaan Hari Raya Siwaratri saja, melainkan perlu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya aplikasi/wujud dalam kehidupan sehari-hari maka hari raya itu akan tanpa makna dan akan lewat begitu saja. Brata Siwaratri dilaksanakan selama 36 jam. Brata ini mulai dan pukul 06.00 panglong ping 1 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu. Brata Siwaratri dengan melaksanakan upawasa, monobrata dan jagra.

1. Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)

Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk tidak tidur semalam suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh Lubdhaka yang tidak tidur di atas pohon bila semalam suntuk. Untuk mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga dosanya terlebur. Jagra dalam pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak tidur semalam 36 jam.
Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat diaplikasikan dengan cara selalu eling (waspada, ingat, berfikir, dll.) terhadap sang diri. Dalam kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan musuh-musuh, baik itu yang berasal dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi) maupun dari luar diri. Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan kewaspadaan yang relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh tersebut. Kewaspadaan yang tinggi tentunya diperoleh dengan menggunakan pikiran.
Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk merenung agar selalu tetap mawas diri dan menyadari diri kita yang sejati. Sebagaimana tersurat didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa nafsu dan keinginan tidak pernah putus didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya tidur. Orang yang selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian papa sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini adalah keadaan yang selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga malas. Orang yang malas bekerja akan menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan keberadaan dirinya sendiri. Dengan demikian pikiran merupakan sumber segala yang dilakukan oleh seseorang. Baik-buruk perbuatan manusia merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan suci pikiran seseorang maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan akan bersih dan baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, berfikir buruk serta percaya dengan hukum karma.
Dalam hidup ini semasih kita mampu, perlu diisi dengan kerja yang sesuai dengan dharma. Mengenai kerja ini dinyatakan oleh Bhagawadgita III sebagai berikut:
III.3
O, Arjuna, manusia tanpa noda; di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah Aku ajarkan dari jaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka yang mempergunakan pikiran dan yang lain dengan jalan pekerjaan bagi mereka yang aktif.
III. 4
Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak melepaskan diri orang akan mencapai kesempurnaan.
III. 5
Sebab siapa pun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata, tanpa melakukan pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya dengan tidak berdaya apa-apa lagi.
III. 20
Hanya dengan penbuatan, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kamu harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk memelihara dunia.
Di samping untuk memelihara dunia yang kita pijak ini, kerja juga dapat menghindari kehancuran duniâ baik secara spiritual maupun material. Disamping itu juga, kerja dapat meningkatkan kedudukan sehingga menjadi manusia yang lebih sempurna. Jika kita sudah bekerja maka dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap orang lain. Disamping itu, diharapkan untuk tidak terikat dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Hasil yang diperoleh dari kerja diharapkan untuk sumbangkan kepada yang membutuhkan.

2. Upawasa (tidak makan dan minum)

Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan minum. Pada waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan dan minum. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan dengan cara selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh jasmani maupun rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita makan hendaknya dicari dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.
Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam hal makan dan minum. Makanan yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh, juga nanti akan bersinergi membentuk dan merangsang pikiran, perkataan dan perbuatan. Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri Guna (sattwam, rajas dan tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak oleh orang yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan tersebut. Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan tentang suci dan cemar, bersih dan kotor serta cara penyajian makanan. Mengenai makanan dinyatakan dalam Bhagawadgita sebagai berikut:
III.13
Orang yang makan apa yang tersisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
XVII. 7
Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga. Demikian juga yadnya-yadnya, tapa dan dana. Dengarkanlah perbedaan dari semua ini.
XVII. 8
Makanan-makanan yang meninggikan hidup, tenaga, kekuatan, kesehatan dan suka cita, yang manis yang lunak, banyak mengandung zat-zat makanan dan rasa enak adalah yang disukai oleh orang yang baik (sattwika).
XVII. 9
Makanan-makanan yang terlalu pahit, masam, asin, pedas, kering, keras dan angus dan menimbulkan kesakitan, duka cita dan pen yakit disukai oleh orang yang bernafsu (rajasika).
XVII. 10
Makanan yang basi, hambar, berbau, dingin, sisa kemarinnya dan kotor adalah yang disukai oleh orang yang bodoh (tamasika).
Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra agama. Minuman yang dilarang orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung penyakit sehingga mempengaruhi pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang sering mabuk prilakunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Jika dilandasi dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha. Setiap orang selagi masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu perbuatan (karma). Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam kehidupan sekarang ini berarti mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang. Orang yang sadar/eling akan berusaha dalam kehidupannya untuk berbuat yang baik berdasarkan darma. Hal ini disebabkan karena semua orang mengharapkan adanya kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dimasa-masa yang akan datang.

3. Monobrata (berdiam diri/tidak bicara)

Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata. Brata ini relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari berata ini yakni berkata-kata atau berbicara yang dapat menyejukkan hati orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi manusia, guna menyampaikan isi hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata kita memperoleh ilmu pengetahuan, mendapat suatu hiburan, serta nasehat nasehat yang sangat berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam Niti Sastra V. 3 disebutkan sebagai berikut:
Wacika nimittanta manemu laksmi,
Wacika nimittanta manemu duhka,
Wacika nimittanta pati kapangguh,
Wacika nimittanta manemu lmitra,

Artinya :
Karena perkataan memperoleh bahagia,
Karena perkataan menemui kesusahan,
Karena perkataan menemukan kematian
Karena perkataan memperoleh sahabat.

Kata-kata yang baik, benar dan jujur serta diucapkan dengan lemah lembut akan memberikan kenikmatan bagi pendengarnya. Dengan perkataan seseorang akan memperoleh kebahagiaan, kesusahan, teman dan kematian. Hal ini akan memberi arti yang sesungguhnya tentang kegunaan kata dan ucapan sebagai sarana komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.

Perkataan yang baik, sopan, jujur dan benar itulah yang perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menghindari kata-kata jahat menyakitkan, kotor (ujar ahala), keras, menghardik, kasar (ujar apergas), memfitnah (ujar pisuna), bohong (ujar pisuna) dan lain-lain yang perlu dihindari dalam pergaulan. Adanya 10 (sepuluh) pengendalian diri yang dapat dilakukan dalam kehidupan yang disebut karmaphala. Hal ini sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam Sarasamuscaya 73 sebagai berikut:
Hana karmaphatha ngaranya, khrtaning indriya, sepuluh kwehnya, ulakena,
kramanya : prawerttiyaning manah sakareng, telu kwehnya, ulahaning wak pat pwarttyaning kaya, telu pinda sepuluh, prawerttyaning kaya, wak, manah kengeta”
Artinya:
adalah karmapatha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya yang patut dilaksanakan gerak pikiran tiga (3) banyaknya, ucapan/perkataan empat (4) jumlahnya, gerak tindakan/laksana tiga (3) banyaknya, Jadi sepuluh (10) jumlahnya perbuatan yang timbul dan gerakan badan, perkataan, dan pikiran, itulah yang patut dilaksanakan.